PROFIL GENJEP ALIAS MAMA UCI, SI WADIAN DUSUN DI BARITO TIMUR

Genjep, Balian dari Dayak Maanyan

Posted on | August 3, 2010 | No Comments
Sumber : KOMPAS, Rabu, 21 Juli 2010

Oleh  Defri Werdiono dan M Syaifullah



Bagi masyarakat Dayak Maanyan di daerah perbatasan Kalimantan Selatan dan Kalimantan Tengah, Genjep adalah salah seorang balian dusun yang dihormati. Selain melaksanakan ritual adat terkait kematian Dayak Maanyan, dia juga berusaha menarik minat kaum muda agar ritual adat tersebut tetap lestari.
"Jika saya mati nanti, tidak tahu apakah akan dikubur dengan ritual adat aruh buntang atau tidak lagi. Apa pun yang terjadi, saya tetap berusaha mempertahankan tradisi ini selagi mampu,” kata Genjep menegaskan tekadnya.


Selama ini dialah salah satu balian dusun dari ”sedikit” tokoh perempuan yang dihormati masyarakat Dayak Maanyan, khususnya di Desa Warukin, Kecamatan Tanta, Kabupaten Tabalong, Kalimantan Selatan.

Masyarakat Dayak Maanyan tepatnya yang tinggal di antara daerah Kabupaten Tabalong, Kabupaten Barito Timur dan Barito Selatan relatif kenal dengan beliau ini.  Di kalangan masyarakat, Genjep akrab disapa Mama Uci, merujuk pada nama anak pertamanya.

”Dulu, jumlah balian banyak. Sekarang, balian perempuan hanya tinggal beberapa orang. Selain karena sejumlah ritual adat makin jarang digelar, juga banyak orang tak mau jadi balian,” ujarnya.

Sejak Minggu (11/7) lalu, Genjep bersama tiga belian dusun memimpin ritual aruh (upacara) buntang atau aruh mambuntang di Warukin. Aruh buntang adalah upacara mengangkat arwah dari alam kubur ke surga. Ritual adat terkait kematian ini digelar keluarga Pardi Luit untuk orangtuanya, Utau, yang meninggal 30 tahun lalu. Prosesi tersebut diyakini sebagai cara menempatkan arwah menjadi ”bapak” tertinggi di rumah. Dalam kepercayaan masyarakat penganut Kaharingan, agama asli masyarakat Dayak, orangtua atau leluhur akan memberikan keberkahan kepada generasi penerusnya yang masih hidup.


Berusia muda
Selama berlangsung aruh buntang, sekitar lima hari, hampir semua prosesi menjadi tanggung jawab Genjep. Dia yang menyiapkan berbagai sesaji sebagai unsur ritual, memanggil dan berkomunikasi dengan arwah, dan mengangkatnya ke alam surga. Tugasnya seperti mediator.

Selain menyiapkan sesaji di balai (rumah panggung), Genjep juga memimpin proses bamamang (membaca mantra). Ia bersama tiga balian perempuan lain melakukannya dengan tarian ritual diiringi bunyi gemerincing gelang dadas, gelang kuningan yang dikenakan para balian itu.

Mereka memakai pakaian adat khas balian dusun, berupa tapih bahalai, kain batik yang dililitkan di dada. Lalu, pada bagian belakangnya terselip sebilah keris. Dia juga memakai ikat kepala.
”Setiap melakukan ritual ini, saya ditemani tiga balian lain. Setidaknya satu dari mereka berusia muda, sekitar 35-40 tahun. Saya berharap, dengan melibatkan balian dusun yang masih muda, kita mampu mempertahankan tradisi ritual ini,” kata Genjep menjelaskan usahanya melestarikan adat, meski diakuinya menjadi balian tak mudah.

Selain harus terlatih menggelar berbagai ritual Dayak Maanyan, seorang balian juga mesti menguasai dan hafal semua mantra yang dipakai. ”Semua itu tak bisa dipelajari lewat buku karena tak ada bukunya. Balian muda harus belajar dengan berguru langsung kepada balian dusun tertua,” katanya.

Kondisi fisik seorang balian juga harus prima karena ritual adat itu bisa berlangsung sampai sembilan hari terus-menerus. Itu belum termasuk persiapan. Ketika aruh buntang digelar, praktis Genjep hanya bisa tidur beberapa saat.


Keahlian nenek
Memimpin ritual adat dilakukan Genjep sejak tahun 1968. Keahliannya sebagai balian dusun berawal ketika ia berusia 12 tahun. Saat duduk di bangku kelas empat sekolah rakyat, ia diminta meneruskan keahlian neneknya, Pembekal Lingut. Sang nenek, Pembekal Lingut, adalah salah seorang ”pandai” di Tamiang Layang. Genjep mengingat, salah satu prosesi yang dilakukan untuk mentransfer ilmu itu adalah dengan bamandi-mandi atau mandi menyucikan badan.

Setelah itu, Genjep kecil diharuskan menghafal berbagai mantra. Kemudian, selama sekitar 22 tahun terus-menerus Genjep mengikuti sang nenek setiap kali ada aruh buntang. Setelah berusia 42 tahun, Genjep baru dipercaya memimpin ritual aruh buntang.
”Saya diambil dari sekolah, saya menangis karena tak mau (menjadi balian dusun). Lalu nenek bilang, sayang kan jika tidak ada yang diutuskan menjadi balian. Apa boleh buat, akhirnya terjadi juga,” tuturnya.

Belakangan ini Genjep membagi ilmunya kepada dua perempuan muda. Kata Genjep, mereka sendiri yang mengajukan diri menjadi balian. Maka, apa yang dia dapatkan dari sang nenek dia lakukan pula kepada muridnya. Mereka mengikuti ke mana saja Genjep memimpin ritual aruh buntang.


Semakin langka
Perkembangan zaman memang membawa pengaruh, termasuk pada masyarakat pedalaman Kalimantan. Dari pengamatan Genjep, dibandingkan dulu, keberadaan balian dusun belakangan ini semakin langka. Kondisi ini sedikit berbeda dengan balian lain, seperti balian bawo, balian lelaki yang jumlahnya relatif masih mencukupi.
Entah apa yang menjadi penyebab, Genjep tidak bisa menjelaskannya. Dengan nada khawatir dia memperkirakan tradisi aruh buntang semakin terancam punah. Memang, untuk melaksanakan upacara adat itu diperlukan biaya besar, mencapai puluhan juta rupiah. Di samping itu, sebagian warga setempat juga telah berpindah agama, dan tradisi ini pun mereka tinggalkan.

Dalam keluarga Genjep, dari tujuh anaknya, tidak ada seorang pun yang berkeinginan mengikuti jejaknya, menjadi balian dusun. Mereka memilih menjadi pegawai negeri sipil di kantor pemerintah kabupaten, atau bekerja di pertambangan batu bara yang beroperasi di kawasan itu. Namun, bagi Genjep, kondisi itu tak membuatnya patah semangat. Dia tetap menekuni tugas dari leluhur, sebagai balian dusun. Meski usia tidak lagi muda, Genjep terus berjalan, mendatangi satu demi satu kampung masyarakat Dayak Maanyan di perbatasan tiga provinsi, yakni Kalimantan Selatan, Kalimantan Tengah, dan Kalimantan Timur.
Dia tetap fokus pada tujuan semula, yakni melestarikan ritual adat Dayak Maanyan. Ditemani gemerincing gelang dadas pada kedua tangannya, tubuh tua Genjep tetap gemulai membawakan tarian sakral. Dia memimpin warga Dayak Maanyan setempat siang-malam agar menghormati para leluhurnya dengan aruh buntang.
Share

Komentar

Postingan Populer