Jalan-jalan ke Museum Nasional Jakarta

Mengintip Sejarah Peradaban di Museum Nasional

Oleh: Siti Nurdina

Halaman Depan Museum Nasional

Halaman Depan Museum Nasional
Bendera merah putih yang terpancang di atap gedung seperti menari tertiup angin. Walaupun tua, gedung Museum Nasional yang besar dan putih itu terlihat tegap dengan pilar-pilar yang menjulang tinggi. Di siang hari yang sepi, saya melangkahkan kaki memasuki museum yang berada di Jakarta ini.
Di pelataran depan, saya disambut oleh sebuah patung gajah yang terbuat dari perunggu. Patung ini merupakan hadiah Raja Chulalongkorn (Rama V) dari Thailand yang berkunjung pada 1871. Karena itu, museum ini juga dikenal dengan nama Museum Gajah.
Bangunan ini memiliki kaitan dengan apa yang disebut masa revolusi intelektual atau masa pencerahan (The Age of Enlighment), dimana orang-orang mulai mengembangkan paradigma yang berbeda dari jaman sebelumnya. Revolusi ini menjalar ke seluruh Eropa. Di Belanda, revolusi ini ditandai dengan didirikannya de Hollandsche Maatschappij der Wetenschappen pada 1752 di Harleem. Sedangkan di Indonesia, pemerintah kolonial Belanda mendirikan Himpunan Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Westenschappen pada 24 April 1778. Pendirinya, Jim Radermacher, menyumbangkan rumah dan benda-benda budaya yang menjadi cikal bakal dari museum dan perpustakaan ini. Museum ini secara resmi dibuka pada 1868.
Museum Nasional ini menyimpan lebih dari 140.000 koleksi prasejarah, keramik asing, arkeologi, kolonial, dan etnografik dan geografi. Benda-benda ini didapat dari ekspedisi militer, ekspedisi ilmiah, hadiah, Zendim, dan pembelian. Secara struktur bangunan, Museum Nasional terbagi atas dua gedung: Gedung Gajah, yang mempertahankan sistem penataan kolonial, dan Gedung Arca, yang bersifat tematik untuk memperlihatkan kehidupan masyarakat Indonesia saat ini.
Ketika masuk ke dalam museum, mata saya disuguhi puluhan koleksi arca dan prasasti bersejarah yang terjajar rapi. Di sebelah kiri saya, berderet-deret patung dewa-dewa dan tokoh-tokoh dalam agama Hindu. Kebanyakan patung ini berasal dari abad 8, 9, dan 10 Masehi. Diantara patung tersebut ada Patung Ganesha yang merupakan dewa ilmu pengetahuan dan penyingkir rintangan dalam agama Hindu. Patung berkepala gajah dan bertubuh manusia ini ditemukan di Magelang, Jawa Tengah, dan berasal dari abad 8-9 M.
Selain itu ada patung Budha, manusi-Budha, yang diduga Sakyamuni Sidharta Gautama dan berasal dari Jombang, Semarang pada 9 Masehi. Kemudian ada patung Kinara, penyanyi dan ahli musik surga, yang bentuknya separuh manusia dan separuh burung dan berasal dari abad 8 Masehi. Tak jauh dari Kinara, ada patung Kuwera, dewa kekayaan, yang dikenal baik dalam agama Hindu maupun Budha yang ditemukan di Yogyakarta dan berasal dari abad 8-9 Masehi. Lalu ada patung Siwa Mahadewa yang merupakan dewa tertinggi di dalam agama Hindu. Patung ini ditemukan di Karangploso, Krapyak, Jawa Tengah dan Ambarawa, Jawa Tengah. Adapula patung Siwa Kala, pembinasa dalam agama Hindu, dan Siwa Guru, siwa dalam bentuk sebagai pendeta dalam agama Hindu.
Sementara di sebelah kanan saya, berjajar prasasti-prasasti besar maupun kecil yang terbuat dari batu dan ditulis dalam bahasa Jawa Kuno. Salah satunya adalah Prasasti Sarangan yang berasal dari Mojokerto, Jawa Timur, dan berasal dari abad 10 Masehi. Prasasti ini berisi tentang peresmian desa Sarangan sebagai sima oleh Raja Rake Hino Pu Sindok pada 851 Saka. Sedangkan Prasasti Taji Gunung, yang menyebutkan peresmian desa Taji Gunung menjadi sima oleh Sang Rakryan Mahamantri pada 194 Sanjaya, berasal dari Taji, Jawa Tengah, pada abad 10Masehi.
Beranjak lebih dalam, ada sebuah ruangan yang di dalamnya terdapat koleksi 50 tahun Indonesia Merdeka berupa tiga perangko yang dibuat di Swiss oleh Huguenin Medailleurs S.A dan terbuat dari emas.
Perangko pertama bergambar Burung Garuda sebagai lambang Pancasila, perangko kedua bergambar foto Jenderal Soeharto, mantan presiden Indonesia yang berkuasa selama 32 tahun, dan perangko ketiga bergambar anak laki-laki kecil dan bendera merah putih sebagai lambang penerus bangsa. Ketiganya terbuat dari emas murni 999.99 karat dan hanya dibuat dalam jumlah terbatas. Koleksi ini merupakan set ke 00006.
Perangko-perangko yang berada dibawah pengawasan PT Pos Indonesia (Persero) ini diletakkan dalam sebuah tempat penyimpanan kokoh dari batu berkeramik dan terdaftar di lembaga Penilai Emas Swiss. Perangko ini juga sekaligus untuk memperingati setahun wafatnya istri Presiden Suharto, Tien Soeharto (28 Mei 1996 – 16 April 1997).
Keluar dari sini, saya tertarik masuk ke dalam sebuah ruangan yang bernama Thai Room. Ruangan ini dibuat pada 7 maret 2000 sebagai tanda hubungan diplomatik yang baik antara negara Republik Indonesia dengan Kerajaan Thailand. Di ruangan ini, terdapat barang-barang sejarah khas Thailand, seperti topeng Hanuman, topeng Vishnukarman, talum (kaki dulang), dan gelang niello emas yang tersimpan rapi di dalam lemari.
Mata saya tertuju pada tulisan yang menceritakan sejarah kerajaan di Thailand dari berbagai abad. Sekilas saya ingat pada film Anna and The King yang dibintangi oleh Cho Yun Fat dan Jodie Foster.
Cerita pertama berasal dari kerajaan Dvaravati pada abad 6-11 Masehi. Berita China dari dinasti T’ang menyebutkan, ada sebuah negara yang terletak di antara Istanapura dan Sri Kasetra di Myanmar. Menurut ejaan China, negara ini disebut To-lo-poti, yang kemudian oleh para ahli diartikan sebagai Dvaravati dalam bahasa Sansekerta. Kerajaan ini dipastikan ada dengan ditemukannya bekas-bekas uang logam perak bertuliskan Dvaravati. Uang ini ditemukan di tengah, timur laut, utara, dan selatan Myanmar.
Kemudian ada kisah Kerajaan Srivijaya yang suka berperang pada abad 8-13 Masehi yang berdiri pada akhir dinasti T’ang. China menamakannya Shi-li-foshi atau San-foshi. Masih menjadi perdebatan sampai sekarang, dimanakah letak kerajaan ini sebenarnya, apakah di selatan Thailand atau di Palembang, Sumatera, atau malahan di daerah Indonesia lain. Kerajaan ini berdiri selama 160 tahun dan jatuh ditangan Kerajaan Ayutthaya pada 1378.
Kerajaan Ayutthaya berdiri pada tahun 1350. Memiliki pemerintahan model Khmer, di sini raja merupakan titisan dewa dalam mengatur urusan kerajaan. Kerajaan ini, dalam catatan tersebut, adalah salah satu di Asia Tenggara yang terbuka untuk perdagangan internasional dan diplomasi dengan banyak negara. Terdapat catatan di Prancis yang menyebutkan hubungan persahabatan antara Raja Louis XIV dengan Raja Narai pada abad 17. Kerajaan Ayutthaya ini berkuasa selama 417 tahun sebelum jatuh ke tangan militer Myanmar pada 1767.
Yang tidak kalah menarik adalah cerita tentang Sukothai, asal muasal peradaban Thailand. Didirikan sekitar 1220 Masehi di utara Thailand, kota dan kerajaan yang sejahtera ini diperintah secara “Monarkhi Patrilinial” atau “Raja Leluhur”. Bertolak belakang dengan “Raja Dewa” dari Angkor, Cambodia, Raja Ramkhamhaeng (1279-1298) merupakan raja ketiga yang menemukan huruf Thai untuk dipergunakan pertama kali pada 1283.
Beranjak dari Thai Room, saya menuju ke Ruang Koleksi Keramik. Di sini tersimpan banyak sekali gerabah dari Terracotta (tanah liat bakar) dan keramik asing. Keterangan tentang campuran, persiapan bahan, jenis-jenis terracotta, dan fragmen hiasan bangunan bisa ditemukan di sini. Untuk keramik asing, yang tertua berasal dari Dinasti Han, China. Ruang koleksi keramik ini berawal dari Esbert Willem van Oorsoy De Flines (1886-1964), seorang Belanda, pegawai bank, dan pengusaha perkebunan, yang datang ke Indonesia pada 1912.
Esbert memindahkan banyak koleksi keramik dari kediamannya di Ungaran ke Museum Nasional pada tahun 1932. Saat harus kembali ke Belanda tahun 1953, ia membuat sebuah surat wasiat. Ia berpesan bahwa apabila ia meninggal dunia, maka seluruh koleksi keramik miliknya dihibahkan ke pemerintah Indonesia. Esbert meninggal dunia di Bossum, Belanda Utara.
Perjalanan saya berlanjut ke ruang prasejarah. Dan saya langsung disambut oleh jejeran benda hitam yang sangat besar. Atasnya berbentuk lingkaran berornamen. Benda itu bernama Nekara Perunggu dan berasal dari 2500 tahun yang lalu. Benda ini kemungkinan datang dari Vietnam, karena pada salah satu tympanium nekara terdapat tulisan China kuno. Benda ini digunakan sebagai genderang yang dianggap memiliki kekuatan magis. Biasanya digunakan sebagai alat memanggil hujan, genderang perang, atau sebagai benda yang  menaikkan status sosial pemiliknya.
Pada bidang pukul nekara, bagian tengahnya terdapat hiasan matahari dan dikelilingi oleh hiasan geometris dan burung bangau. Sering pula terdapat ornamen hiasan patung kodok di tepi lingkaran bidang pukul sebagai lambang air. Banyaknya gambar hiasan yang berhubungan dengan air, seperti perahu sungai, burung pelikan, burung bangau, dan kodok, menimbulkan dugaan bahwa nekara ini dibuat di suatu daerah yang berdekatan dengan sungai atau danau. Di Indonesia, nekara perunggu ini ditemukan di Kepulaun Maluku, Nusa Tenggara, Jawa, dan beberapa daerah lain.
Di sisi ruangan, terdapat gambar evolusi manusia. Dari Australopithecus Afarensis sampai ke Homo Sapiens Sapiens. Ada pula fosil-fosil  manusia purba, tulang dan gigi, serta tempurung kepala manusia purba. Manusia sejarah sebagai seniman juga terbukti di sini dengan adanya kalung manik-manik dari batu, gelang kaca warna warni, dan kulit mutiara sebagai bandul kalung.
Di ujung ruang prasejarah, ada sebuah ruangan lain yang bernama Ruang Perunggu. Di tempat ini, disimpan berbagai barang sejarah dari perunggu yang biasa digunakan untuk upacara keagamaan.

Patung Raja Aditiawarman


Patung Raja Aditiawarman
Setelah puas berkeliling Museum Nasional, saya memutuskan untuk pulang. Ketika menuju pintu keluar, saya harus melewati sebuah aula yang berisi arca-arca para dewa. Ada satu arca yang sangat fantastis buat saya. Tingginya kira-kira tiga meter, hampir mencapai langit-langit aula. Sangat kokoh. Dan agak mengejutkan buat saya, karena ia dipahat menapak tegap dengan menginjak tubuh seorang manusia. Dan di bawah tubuh yang terinjak itu, terkukir tengkorak-tengkorak besar sebagai penyangga landasan patung.
Patung ini adalah sosok Raja Aditiawarman yang disebutkan memerintah di Melayu pada 1347-1375 dan berasal dari Rambahan, Padangroco, Sumatera Barat, pada abad 14 Masehi.
Museum ini dapat dikunjungi setiap Selasa sampai Jumat pukul 08.00 sampai 16.00 dan hari Sabtu-Minggu dari pukul 08.00 sampai 17.00. Tiket masuknya amat sangat murah, dimana dewasa Rp. 750 dan anak-anak Rp. 250. Museum ini tampak terawat dan bersih.
Cukup sudah perjalanan saya siang ini. Sekali waktu, datanglah ke Museum Nasional, sebuah tempat dimana waktu seolah terhenti.

Teks dan Foto: Siti Nurdina
Siti Nurdina adalah penulis lepas di Jakarta


Komentar

Postingan Populer