Obrolan di Warung Mama Irfan (5)
SAMPAH,
Dilempar ke Farid atau Parit?
Datang siang-siang anak nongkrong
grup Fika ke warung Mama Irfan. Bagi grup ini warung Mama Irfan ditandai
sebagai WARUNG SIMPANG. Istilah ini mulai tenar sejak Acil Isar berjualan soto
di sini dua belasan tahun nan lalu. Sejak itulah Warung Simpang dikenali umum
oleh orang ramai. Namun karena yang berjualan sekarang mama Irfan maka lambat
laun sebutannya ditambahi dengan identitas baru: Warung Mama Irfan atau Warung
Bule.
“Lakasi ja ke sini!”, ucap
Fika ngomong di hape menyuruh kawannya datang. “Warung Simpang lah. Warung bule
Mama Irfan, di muka toko elektronik Haji Adenan. Tahu ai kalo Jalan Panglima
Batur simpang Karang Paci higa Kejaksaan...!?”
Entah apa yang diomong
diujung telepon selular yang sana, yang jelas Fika kemudian berkata: “Pa-pah
kasasombong ikam. Hanyar ja setahun meninggalkan Buntok, sudah bapander kada
tahu warung Simpang. Pakai GPS Google wal ai mencarinya. Syahdu. Mula sulit
tamusuh dengan orang kota yang hanyar belajar jadi Malin Kundang ni...!”
“Hahahaha...”, tawa kekawanan
Fika yang lain ikut meriuhkan suasana siang yang agak panas.
“Bule..!” Seru Fika kalam. “Minum bule. Pesan
ja buhan kam masing-masing.”
“Saya teh es aja.”
“Ulun minta Caffuchino es, tambahi gula
sedikit..!”
“Barang aja aku yang paling sederhana : Pulpy
Orange lawan kuhup Indomie goreng.”
“Way yu, kawan....! Sederhana..?”
“Badadiam ja pang.”
”Sedap.”
Maka mama Irfan pun mulai
melayani pesanan grup Fika satu persatu. Belum lama bule Wiwik menyiapkan
hidangan, saat itu juga kawan Fika berkata: “Warung pian ini terkenal jua bule
lah. Boleh jua. Anak pian rupanya mengolahnya di internet. Bagus jua kisah
surah kita di warung ini dibaca orang banyak. Ada jua cungul Buntok di dunia
maya...!”
“Iya lah...?”, sahut Bule
Wiwik belum yakin.
“Inggih bule ai,” jawab kawan
Fika cepat. “Hanyar ja kami tadi membuka internet”.
“Tahu Irfan lawan abahnya
yang bisa internet. Aku kada tahu internet...!”
“Anu, bule. Kami tadi tabaca
jua “SAMPAH BUNTOK, Dilempar ke Farid atau Parit?” Bagus jua
ide macam itu. Mudah-mudahan haja orang kada salah faham. Kita ini di Buntok
memang memang aneh jua. Sudah ada bak sampah disediakan Pemerintah, pakai tutup
lagi, e.. eee, malah sampahnya di buang di luar bak sampah. Nyata ai anjing
menghambur-hambur sampah itu kemana-mana. Jorok benar.”
“Ceh...”, ujar bule mama
Irfan agak menyindir. “Sudah kalo aku sediakan bak sampah di warung kami ini?”
“Sudah benar. Tua bak sampah
pian ada dua.”
“Kalo sudah..., kenapa
bubuhan ikam masih aja membuang sampah ke got atau ke lantai. Sibuk aku saban
hari membersihkan parit dan lantai warung. Mana warungnya buruk, kada bersih
lagi.”
“Nah ikam. Mula bujur pang
bule ai. Inilah kebiasaan buruk kami warga Buntok sejak jaman bahari. Apa-apa
sampah pasti dah dilempari babarang haja. Ada sungai ditimbai ke sungai.
Melihat danau dibuang ke danau. Ada tanah kosong, timbai. Apalagi tanah Buntok
kan rendah, pakai penimbunan kalo..?!”
“Kada kaya itu jua, kalo?
Dasar koler aja kalo..?”
“Ya..., begitulah”, akui
kawan Fika enteng. “Koler bin malas adalah alasan lain untuk praktis”.
“Tapi tidak praktis jua kalo,
toh sampahnya dibuang jauh-jauh ke TPS di depan taman Iring Witu atau Stadion
Batuah atau ke Terminal higa Kantor Pos. Mengantar sampah ke situ kan pakai
modal, waktu dan tenaga!?.”
“Iya pang!?”
“Nah. Sudah diantari
kenjot-kenjot ke tempat pembuang yang benar tapi kenapa sampahnya justru
dibuang secara tidak benar jua?”
“Maksudnya?”
“Kenapa orang-orang itu
membuang kantong sampahnya di luar bak sampah sementara bak sampahnya kosong? Nyata
ai kantong sampah digeret-geret anjing. Kasihan kan Taman Iring Witu, Kantor
Polres atau Stadion Batuah, terminal dan kantor pos Buntok kumuh berbau kayak
peceren”.
“Bujur bule ai. Maaf ai amun
kami yang mejeng di warung pian ini kada menjaga kebersihan”.
“Kada apa-apa aja. Cuma
maksud ku.., kapan jua Buntok bisa bersih kinclong kayak Pangkalan Bun atau
Kapuas. Kan nyaman nafas kalo kota ini bersih dan dapat Adipura.”
“Cihui.
KKps, 25-11-2012
Komentar