Obrolan di Warung Mama Irfan (3)
ULAMA SUKSES YANG SUKSES MELEBIHI TIM SUKSES
(Lanjutan Buntut Sarah)
Irfan dan mamanya |
Belum selesai
rupanya diskusi anak nongkrong di warung Mama Irfan. Topik Buntut Sarah di
Pilkada Kapuas masih terus berlanjut. Hangat perbincangan itu mengalir. Lancar.
“Ah, kada
perduli, SARA kah..., SARAH kah situ, yang penting menang! Iya kalo..?”
“Menang,
apanya?”,
“Ya menang
Pilkadal itu tadi...!”
“Nah ikam ai,
Pilkadal? Satuwa balain pulang?!”
“Pemilihan
Kepala Daerah Langsung: Pilkadal, hantu ai. Bisa jua Pemilihan Kadal. Kontes
Kadal...!”
“Yaa..! Mantap.”
“Mantap
kabureng.”
“Ya..! Kan ...
kudengar yang menang yang bupati sekarang kan, juara bertahan, walau pun menangnya
cuma satu persen.”
“Iya ai, ujar
koran hari ini tadi. Kemenangan tipis...pis... pis, pipis!”
“Nah kan. Pipis
bin takakamih musuh. Itu artinya..., lanjutkan dan tuntaskan!”
“Tuntaskan ja
situ, tuntaskan membuliki modal yang sudah dihambur-sapai kemana-mana! Modal
batatabur mambari-bari hantu...! ”
“Nyata ai”, ujar
kawannya sinis. “Tiwas percaya politik. Politik itu kan Poli dan Itik. Poli
artinya banyak dan itik artinya ya itik. Jadi politik artinya itik yang
banyak...!”
“Kalau
politikus, pang?”
“Akai gampil
banar. Poli artinya banyak dan tikus artinya satwa tikus. Berarti politikus
adalah Tikus yang banyak. Makanya negara kita kebanyakan politikus..., buntus rabit
dan wawah tu pang?!”
“Bisa jadi.
Jangankan politikus yang bikin kebocoran, ulama aja kebanyakan jadi ulama
politikus jua wayah ini! Coba aja..?”
“Coba aja,
kenapa? Apa ikam bisa membuktikan ulama adanya jua umpat main-main poli dengan
tikus?”
“Ya ampyun.....,
banyak benar kijil ai buktinya. Aku banyak dapat kabar .... sejibun sejuta-juta
banyaknya ulama yang pasang gigi palsu supaya bisa unjuk gigi..!”
“Maksudnya....?
Contoh nyatanya..?”
“Coba ikam
fikir. Ada ulama mendukung kandidat dengan jaminan.”
“Jaminan apa?”
“Ujar ulama
tadi: Kami punya ratusan jamaah, dijamin mendukung kandidat A asal masjid kami
dibantu Rp 20 juta. Kalau dukungan gagal dijamin uang kembali. Duit diantar
sehari setelah KPUD memutuskan pemenang! Coba?”
“Wajar aja.”
“Apanya yang
wajar? Ulama tadi belum selesai. Dia minta duit lagi ke kandidat lain, B! B calon
pemenang terkuat kedua, digarap dengan cara dan jaminan yang sama”.
“Hau.., kaya apa
bisa kaya itu...?”
“Nah..., ini. Inilah
kehebatan ulama politik. Begitu duit didapat dari kandidat A dan B sebesar Rp.
40 juta dari dua calon terkuat maka ulama tadi tinggal berleha-leha alias diam
saja.”
“Nah..., apakah
tidak membujuk jamaah untuk memilih salah satu kandidat?”
“Sama sekali
tidak. Ulama tadi santai-santai ja menghabisi duit angin.”
“Tidak
sosialisasi kandidat atau kampanye?”
“Sama sekali
tidak. Prai.”
“Lalu, apa yang
digawinya?”
“Ya diam. Diam
aja. Tidak perduli. Cuwek. Menyumpahi kebodohan para calon pemimpin negeri yang
ditipu!”
“Lalu..., kalau
pemilukada sudah dan penetapan pemenang sudah?”
“Ulama kita
menghubungi yang menang, mengucapkan selamat. Mengucap terima kasih atas
bantuannya. Ranai.”
“Lalu kepada
yang kalah?”
“Sesuai janji,
dia datang kepada kandidat yang kalah. Pertama mengucap permintaan maaf. Kedua
mengembalikan uang di mulutnya.”
“Berarti Rp.20
juta dikembalikan tunai, gitu..?”
“Kadanya maka,
pang. Duit cuma dikembalikan separonya.”
“Kenapa begitu?”
“Dengan sangat
menyesali sang kiyai menyampaikan bahwa yang Rp. 10 juta sudah terlanjur
dibelikan karpet masjid, biaya transport, dipakai sholat hajat dan makan-makan
waktu acara pengajian. Ujarnya .., seandainya kekurangan yang 10 juta
diikhlaskan maka diucapkan terima kasih. Kalau tidak maka akan diganti dengan
celengan masjid?”
“Akhirnya...?”
“Dengan berat
hati terpaksa uang yang kembali cuma Rp. 10 juta.”
“Kada ikhlas
lah?”
“Lebih baik kada
ikhlas daripada dibongkar money politic-nya..!”
“Astaghfirullah.
Dasar pintar kiyai kita? Terlalu!!”
“Terlalu
apanya?”
“Ya terlalu!
Diam aja harganya bisa tembus Rp. 30 juta!”
“Lha iya lah.
Ini baru ulama yang faham arti kharisma dan time is money..!”
“Neraka!”
“Huh..., tidak
mungkin. Mustahil.”
“Kok tidak
mungkin?”
“Ya jelas tidak
mungkin. Dia kan tidak berdusta?!”
“Tahu ah. Semakian hancur aja dunia kita kalau
begini! Kiamat, 2012..., kiamat!”
“Belum ada
kiamat 2012, itu cuma film khayalan Amerika! Pasti tidak ada kiamat?”
“Kenapa maka
ikam ini wani memastikan tidak ada kiamat? Harat bujur!”
“Nyata ai harat.
Kan Panitia Kiamat belum disusun.... hahaha...?!”
“Mula murtad jua
ikam ni!
“Ikam nang
murtad memastikan kiamat 2012.”
“Orangnya yang
kiamat, bungul ai..!”
“Hi-ih ja,
tambuk ai.”
Karena diskusi mulai
mengarah tidak menguntungkan maka anak nongkrong pun bubar masing-masing.
“Terima kasih mama Irfan lah. Kami bubar dulu. Kena ja lagi”.
“Ya, sama-sama”,
ujar mama Irfan ramah.
Dan di langit
Barat..., matahari redup bagai tersenyum memerahkan sore yang cerah.
Alhamdulillah.., Buntok memang kampung yang tenang, damai dan menggairahkan.
KKps, 24-11-2012
Komentar