TAHUNUI, CERITA RAKYAT BARITO SELATAN (1)
Prakata
Pada tanggal 28 Juli 2008, Dinas Informasi Komunikasi
Pariwisata dan Kebudayaan Kabupaten Barito Selatan menerbitkan sebuah buku “TANUHUI”
atau “Cerita Rakyat Barito Selatan”. Buku disusun sebagai pelaksanaan tugas pokok
dan fungsi Dinas Informasi Komunikasi Pariwisata dan Kebudayaan Kabupaten Barito
Selatan dalam urusan wajib bidang kebudayaan. Semoga
Pada waktu itu saya, SYAMSUDDIN RUDIANNOOR, S. Sos, bertindak sebagai penulis, pengumpul bahan dan desainer. Adapun Penanggung Jawab kegiatan Drs. FRIDHARD,
MM (Kepala Dinas ), PPTK FENGKY, SH dan Editor HATIANI, S. AP.
Semoga kehadiran Tanuhui atau Sanuhui ini
dalam bentuk layanan dunia maya tidak salah dan dapat memberikan
informasi yang bermanfaat bagi siapa saja dan dimana pun berada.
Hormat Saya,
SYAMSUDDIN RUDIANNOOR, S. Sos,
1. INEH
PAYUNG GUNTING
Pada awalnya, dalam adat suku Dayak Ma’anyan umumnya
dan Suku Bawo khususnya, Wadian digunakan sebagai media pengobatan atau
penyembuhan dari segala penyakit. Para pelaku
wadian dianggap mempunyai kekuatan spiritual yang luar biasa. Kekuatan tersebut
identik dengan kekuatan fisik laki-laki sehingga terbentuklah pandangan bahwa
dunia wadian adalah milik laki-laki. Wadian laki-laki inilah yang dikenal
dengan Wadian Bawo.
Kondisi
tersebut terus berlangsung selama perjalanan kehidupan suku Bawo sampai pada
suatu ketika terjadi pendobrakan dominasi laki-laki dengan munculnya seorang
perempuan bernama Diang Dara Sangkuai Ulu. Perempuan ini dianugerahi kekuatan
dan keterampilan wadian oleh seorang Dewi cantik dari Gunung Paramatun yang
bernama Ineh Payung Gunting.
Pada
awal penampakannya Ineh Payung Gunting berwujud seekor burung elang. Ineh
Payung Gunting sangat tertarik dengan Diang Dara Sangkuai Ulu yang rajin
mencermati setiap gerak-gerik ular. Akhirnya, Ineh Payung Gunting mengajarkan
keahlian wadian serta menunjukinya kelengkapan-kelengkapan wadian seperti
gelang dan selendang. Wadian wawei alias Wadian perempuan inilah yang kemudian
terkenal luas dengan sebutan Wadian Dadas.
Lala
pun sangat bersemangat mempertontonkan kebolehannya menari Wadian Bawo seraya
memamerkan otot dan kesaktiannya kepada pesaing cantik Diang Dara Sangkuai Ulu.
Namun apa yang terjadi? Diang Dara Sangkuai Ulu bukannya takut, justru
sebaliknya melawan aksi atraktif Lala itu dengan membalas mempertontonkan keahliannya
menarikan Wadian Dadas. Walhasil, gemerincing gelang-gelang Bawo dan Dadas pun
silih berganti membelah suasana. Persaingan terjadi dengan sangat seru, keras
dan memukau. Singkat kata, jurus atraksi baru Wadian Dadas yang dikeluarkan
Diang Dara Sangkuai Ulu ternyata tidak kalah dahsyat dari gerakan berotot
Wadian Bawo. Artinya, gerakan otot dan olah tubuh Lala yang mempertunjukkan
keperkasaan lelaki harus berbalas tunai dengan atraksi sakti Diang Dara
Sangkuai Ulu yang lincah bagai lompatan macan, melayang-layang bagai kepakan
sayap burung mangamet dan
gemulai laksana lenggak-lenggok leher dan pinggul ular tadung kobra yang seksi.
Menyikapi
perang terbuka yang mengarah persaingan tidak sehat maka berkat kearifan kepala
suku Bawo, konflik pun dapat diselesaikan secara damai dan bijaksana. Kepala
suku Bawo menegaskan bahwa baik laki-laki maupun perempuan adalah berkedudukan
setara didalam kehidupan. Oleh sebab itu maka beliau menyarankan kepada Lala
dan Diang Dara Sangkuai Ulu untuk secara bersama-sama memajukan keahlian wadian
dalam bentuk wadian baru yakni wadian bersama. Penampilan kolaboratif kedua
wadian inilah yang kemudian dikenal luas dengan istilah Iruang Wunrung (Dayak Ma’anyan)
atau Ruang Wunrung (Dayak Dusun).
Komentar