Panglima Burung, Kartini Bangsa Dayak (3)
Oleh : Syamsuddin Rudiannoor, S. Sos (HP 0813 4960 6504)
Legenda, kisah atau apa pun bentuk khabar tentang
Panglima Burung tidak terdengar antara kurun 1960 sampai
tahun 2000. Dengan demikian maka generasi yang lahir antara tahun tersebut
dipastikan asing kepada nama Panglima Burung. Namun tatkala terjadi kerusuhan etnis tahun 2001 di Sampit dan seantero Kalimantan Tengah, tiba-tiba Panglima Burung muncul mendadak.
Sekonyong-konyong namanya meroket, sangat menghebohkan dan sangat luar biasa
istimewa. Saat itu Panglima Burung sangat dihajatkan kehadirannya sebagai tokok gaib Dayak dalam menghadapi
serangan etnis tertentu dari seberang laut.
Apa boleh buat, sesuatu yang sangat lama tidak diketahui dan telah dilupakan oleh sejarah, menjadi bangun dan dihadirkan ke alam nyata. Lalu apa, siapa
dan bagaimana Panglima Burung berikut latar belakang ketokohannya? Inilah sebagian kecil jawabannya
versi oang-orang kampung yang mendiami Barito pantai.
Kiyai
Haji M. Juhran Erpan Ali,
Ketua Pondok Pesantren Ushuluddin, Martapura, berkata: "Panglima
Burung seorang wanita berparas cantik namun berwatak bengis. Selain itu ia juga
bergelar hajjah".*1)
Agaknya, kerusukan etnis yang mulai pecah sejak 18 Pebruari
2001 di Sampit mampu memaksa Panglima Burung hadir "dan
membantu warga suku Dayak berperang dan mengusir warga etnis Madura. Sebagai
Panglima Besar, tentu saja Panglima Burung tidak
turun sendiri tetapi membawa sejumlah pengawal alias Pasukan Khusus. Kata Abdul Hadi Bondo Arsyad, seorang
Temanggung Dayak dari Tumbang Senamang, Katingan Hulu, "Panglima Burung
muncul dengan membawa 87 orang pasukan khususnya".
Disamping Panglima Burung sebagai panglima tertinggi Dayak,rusuh Sampit juga
menghadirkan beberapa tokoh
legenda alam gaib lainnya seperti Panglima Palai,
Panglima Api, Panglima Angsa, Panglima Hujan Panas, Panglima Angin dan beberapa
panglima sakti lainnya. Yang pasti dari beberapa panglima itu terdapat dua
panglima wanita cantik yakni Panglima Burung dan Panglima Api.
Kembali
kepada keberadaan Panglima Burung yang legendaris, kata Kiyai Haji M. Juhran
Erpan Ali (56), “Keberadaannya memang nyata, berwujud
seorang wanita berparas cantik namun berwatak bengis. Panglima Burung sudah ada
jauh sebelum Indonesia terbentuk".*2)
Namun begitu, yang mengejutkan dari penuturan Kiyai Juhran adalah karena sosok
Panglima Burung selaku
Panglima Perang Tertinggi Suku
Dayak ternyata beragama Islam dan menyandang titel
seorang hajjah.
Dibawah judul: "Bulan
Jihad itu Panglima Burung?", Anggraeni
Antemas mengabarkan: "Pada 52 tahun yang lalu, tepatnya dalam bulan
Januari 1949", dalam kapasitas sebagai wartawan dan kolomnis Harian "WARTA
BERITA" Medan, beliau pernah menulis tentang "seorang pejuang
wanita suku Dayak di udik Barito yang sakti mandraguna. Konon, dia mengagumkan
bukan saja karena keberaniannya menghadapi serdadu Belanda pada awal abad ke-19
tetapi juga wajah dan sosok puteri Dayak tersebut adalah cantik namun
beringas". Kata Anggraeni, "Saya bersama Arsyad Manan, wartawan mingguan
"WAKTU"
memang telah bersepakat untuk menulis tentang kepatriotan pejuang wanita Dayak
tersebut. Saya menulis untuk WARTA BERITA dan
Arsyad Manan untuk WAKTU. Sumber utama kami adalah dua orang tokoh Dayak Kuala
Kapuas yaitu Willem
Anton Samat dan Adonis Samat (ayah dan anak), yang sama-sama senasib dengan
kami sebagai orang politik "Republikein" yang
tertawan masuk "Interneerings camp" Belanda pada clash II tahun 1948
di Banjarmasin. WA Samat dan Adonis Samat bertutur bahwa pahlawan cantik
tersebut keberaniannya luar biasa sekali. Salah satunya adalah saat berperang
mendampingi Gusti Zaleha dalam
Perang Barito. "Amuk Barito itu
terjadi pada tahun 1900-1901, dimana suku-suku Dayak Dusun, Ngaju,
Kayan, Kinyah, Siang, Bakumpai, Banjar, Hulu Sungai, baik yang beragama Islam atau
pun Kaharingan bersatu bahu membahu menghadapi serangan Belanda.
Nama-nama pahlawan Banjar seperti Antasari, Muhammad Seman dan Gusti Ratu
Zaleha selalu bersanding bahu membahu dengan (para pahlawan Dayak seperti)
Temanggung Surapati, Antung, Kuing, Temanggung Mangkusari dan lain-lain
yang merupakan kesatuan kekuatan dalam perjuangan".*3)
Dalam masa perjuangannya melawan kaum kafir kolonialis Belanda, Panglima Burung yang sangat cantik memiliki
beberapa panggilan akrab oleh masyarakat. "Ada yang menyebutnya Ilum atau Itak, namun ada pula nama popular lain yang disandarkan kepadanya yaitu Bulan
Jihad. Kabarnya, nama Bulan Jihad dipakai Panglima
Burung sebagai nama Islamnya dan dia
memeluk agama Islam dengan perantaraan Gusti Zaleha kawan akrab seperjuangannya. Dan kita ketahui bahwa Gusti Zaleha adalah
puteri Gusti Muhammad Seman, putera Pangeran Antasari yang memimpin Perang
Banjar hingga memasuki kawasan Barito Utara dan Selatan,
dengan semboyannya: "Haram Manyarah, Waja Sampai ka Puting".
Dan karena ceritera kepahlawanan ini tetap
diragukan orang maka Anggraeni Antemas
dalam kesempatan berjumpa dengan Bapak
Tjilik Riwut (Gubernur pertama
Kalteng) di Istana Merdeka Jakarta tahun 1950 menanyakan kebenaran kisah ini.
Tjilik Riwut membenarkan keberadaan srikandi Dayak itu tetapi menurut beliau
Bulan Jihad (bukan pejuang wanita asli Dayak Kalteng tetapi) berasal dari
Suku Dayak Kinyah (Kaltim). Yang pasti, "nama Bulan Jihad sangat terkenal
di antero Barito Hulu dan Barito
Selatan", imbuh Tjilik Riwut. "Dia pendekar sakti mandraguna, punya
ilmu kebal tahan senjata, bisa menghilang dan melibas lawan hanya dengan
selendang saja. Dia selalu berjuang berdampingan dengan Gusti Zaleha si pejuang
puteri Banjar". Dengan demikian maka ceritera yang disampaikan oleh WA
Samat dan Adonis Samat (1948) sejalan dengan ceritera Pak Tjilik Riwut (1950).
Tatkala tokoh perlawanan Gusti Muhammad Seman meninggal dunia pada
tahun 1905, lalu pada awal tahun 1906 Gusti Zaleha berkeputusan turun gunung untuk menyerah kepada
Belanda, lantas apa keputusan Bulan Jihad dan
sisa prajurit lainnya? Ternyata Bulan
Jihad tetap haram menyerah dan tetap bertekad meneruskan perjuangan sekaligus meneruskan pengembaraannya. Maka terjadilah perpisahan yang sangat
memilukan.
Dengan berat hati keluarlah Gusti Zaleha
dari hutan menuju Muara Teweh dan selanjutnya dibawa oleh kaum penjajah ke Banjarmasin bersama ibunya Nyai
Salmah. Sejak perpisahan itu, tidak
banyak orang yang tahu dimana keberadaan Bulan Jihad dan
kelanjutan perjuangannya. Barulah pada tanggal 11 Januari 1954, Bulan Jihad
datang melaporkan diri ke Kantor Pemerintahan setempat di Muara Joloi sehingga
saat itulah dia baru mengetahui kalau Indonesia sudah merdeka. Hatinya pun
semakin luluh begitu mengetahui sahabat karibnya Ratu Zaleha telah meninggal
dunia (24 September 1953) di Banjarmasin. Hari itu orang kembali melihat
pemunculannya dan hari itu pula dia kembali mengembara ke hutan rimba untuk
selama-lamanya. Inilah sekilas kisah seorang muslimah bernama Bulan Jihad yang setia berperang mendampingi perjuangan Gusti
Puteri Zaleha (1903-1906), bahkan dia terus berjuang melewati masa juang
pahlawan anti kolonialis lainnya di tanah Dayak ini.
Dari bukti-buki sejarah yang ditunjukkan para pendahulu kita dengan gamblang menyatakan
fakta bahwa kebulatan tekad persatuan, tekad perjuangan mengusir penjajahan dari negeri ini,
tertuang sangat jelas di dalam
Perang Banjar dan Perang Barito. Saat itu, Pangeran Antasari, Demang Leman,
Gusti Muhammad Seman, Temanggung Surapati, Gusti Zaleha, Bulan Jihad, Panglima
Batur, Temanggung Mangkusari, Panglima Wangkang dan lainnya, adalah gambaran
bersatunya kesatuan suku-suku Dayak Ngaju, Dayak Dusun, Kayan, Kenyah, Siang,
Bakumpai, Banjar, Hulu Sungai, baik yang beragama Islam maupun
Kaharingan. Kata Kiyai Juhran Erpan Ali kemudian,
"Masa itu telah ada kesepakatan tekad bahwa
suku Dayak dan suku Banjar tidak akan pernah berperang sesamanya sampai kapan
pun juga".*4)
*1) Tabloid Bebas, Nomor 092, 7-13 Maret 2001, halaman 5.
*2) Tabloid Bebas, No. 092, 7-13 Maret 2001, hlm 5. *3) Tabloid Bebas, No. 093, 14-20 Maret 2001, hlm 4.
*1) Tabloid Bebas, Nomor 092, 7-13 Maret 2001, halaman 5.
*2) Tabloid Bebas, No. 092, 7-13 Maret 2001, hlm 5. *3) Tabloid Bebas, No. 093, 14-20 Maret 2001, hlm 4.
*4) Tablid Bebas, No. 093, 14-20 Maret 2001, hlm 4-5.
Komentar