INEH PAYUNG GUNTING, Kartini Bangsa Dayak (1)
Prakata
Saya, Syamsuddin Rudiannoor, S. Sos, adalah orang yang lupa akan hari-hari besar kecuali hari Jum'at, Idul Fitri dan Idul Adha. Kenapa saya ingat hari Jum'at? Karena Jum'at adalah hari penciptaan manusia, hari Adam di usir dari syurga dan hari Kiamat. Karena takutnya saya dengan Jum'at maka pada hari Kamis saya upayakan puasa, malam Jum'atnya giat bertaubat, siapa tahu Jum'at memang hari kiamat. Kalau pun Jum'at belum kiamat maka saya sudah mencanangkan- nya menjadi "Jum'at Bersih" dengan niat supaya "Hari Sabtu-nya Tidak Sabtu Kafir" dan Hari Minggu-nya Tidak Minggu Murtad".
Kemudian kenapa saya ingat Idul Fitri? Karena sebulan sebelumnya saya wajib bertaubat dengan puasa siang hari dan taubat khusus di malam harinya. Pas sebelum Idul Fitri saya pun harus membagi sebagian makanan pokok kepada fakir dan miskin.
Lalu kenapa saya juga ingat Idul Adha? Karena dihari itu saya wajib menyembelih binatang pada diri saya dan ikut memotong seekor kambing atau kumpulan uang 7 orang untuk membeli satu ekor sapi kurban lalu dibagi-bagikan kepada yang berhak menikmatinya.
Pada hari Sabtu tanggal 21 April 2012 pukul 06.30 WIB tiba-tiba sifat LUPA saya tadi terganggu karena keponakan saya meminta difoto sebelum berangkat ke sekolah sebab hari itu adalah Hari Kartini dan semua siswa disuruh gurunya untuk memakai BAJU KHUSUS KARTINIAN. Nah hikam, mula jadi. Dari pada diomeli atau ditangisi kemenakan maka saya pun memoto mereka dan fotonya sudah di up-load di facebook mamanya.
Setelah difikir-fikir, ternyata gangguang keponakan tentang HARI KARTINI mampu membuat saya berfikir dan membuat tulisan ini. Paling tidak, perasaan saya telah menyuruh membuat tulisan tentang KARTINI-KARTINI DAYAK yang ternyata NEGERI DAYAK sudah punya PAHLAWAN yang layak diperhitungkan nilai kejuangan seperti KARTINI. Lalu siapakah para KARTINI DAYAK itu?
INEH PAYUNG GUNTING, Kartini Bangsa Dayak (1)
( Inspirator Kesetaraan Gender Suku Sayak )
Dalam adat suku Dayak Ma’anyan pada umumnya
dan Suku Bawo khususnya, Wadian digunakan sebagai media pengobatan atau
penyembuhan dari segala penyakit. Para pelaku
wadian dianggap mempunyai kekuatan spiritual yang luar biasa. Kekuatan tersebut
identik dengan kekuatan fisik laki-laki sehingga terbentuklah pandangan bahwa
dunia wadian adalah milik laki-laki. Wadian laki-laki inilah yang dikenal
dengan Wadian Bawo.
Berdasarkan catatan
Tjilik Riwut dalam bukunya ”KALIMANTAN MEMBANGUN, Alam dan Kebudayaan”,
penerbit PT. Tiara Wacana Yogyakarta, halaman 474-475, asal mula Wadian Bawo
adalah dari cerita rakyat suku Dayak Ma’anyan sebagai berikut :
Alkisah, tersebutlah sebuah
kampung bernama Tenong Ranayab di daerah tanah tinggi Bawo yang dikepalai
seorang Pembekal bernama Datu Too. Datu Too memiliki seorang anak laki-laki
yang sangat gemar berburu bernama Lala. Lala dikenal masyarakatnya sebagai
pemuda yang mengagumkan karena kekuatan tubuhnya, cita rasa berkeseniannya yang
sangat tinggi dan kesaktiannya yang luar biasa.
Suatu kali dia mendemonstrasikan
keahliannya berburu dari awal sampai akhir dalam bentuk tarian. Tarian inilah
yang kemudian menjadi bakal Wadian Bawo. Dan dalam perkembangan selanjutnya,
Tarian Wadian Bawo yang juga dikenal sebagai Tari Galang Bawo ini tumbuh
menjadi tari sakral khas kaum lelaki yang bangga mempertunjukkan keahlian
berburu, kekuatan otot dan kedigjayaan ilmu gaib dalam pengobatan orang sakit.
Kondisi
tersebut terus berlangsung selama perjalanan kehidupan suku Bawo (antara tahun 1501-1512) sampai pada
suatu ketika terjadi pendobrakan dominasi laki-laki dengan munculnya seorang
perempuan bernama Diang Dara Sangkuai Ulu. Perempuan ini dianugerahi kekuatan
dan keterampilan wadian oleh seorang Dewi cantik dari Gunung Paramatun yang
bernama Ineh Payung Gunting.
Pada
awal penampakannya Ineh Payung Gunting berwujud seekor burung elang. Ineh
Payung Gunting sangat tertarik dengan Diang Dara Sangkuai Ulu yang rajin
mencermati setiap gerak-gerik ular. Akhirnya, Ineh Payung Gunting mengajarkan
keahlian wadian serta menunjukinya kelengkapan-kelengkapan wadian seperti
gelang dan selendang. Wadian wawei alias Wadian perempuan inilah yang kemudian
terkenal luas dengan sebutan Wadian Dadas.
Keahlian Wadian Dadas ini kemudian diajarkan pula oleh
Diang Dara Sangkuai Ulu kepada teman-teman perempuannya. Upaya-upaya memberdayakan
diri dari keterkungkungan pandangan tradisional atas dominasi laki-laki ini
nampaknya sangat menggangu pemikiran para laki-laki diantaranya Lala, anak
kepala Suku Bawo yang selama ini dianggap paling handal melakukan wadian Bawo.
Secara konfrontatif Lala menghendaki Diang Dara Sangkuai Ulu menghentikan
niatnya dan menyadarkannya bahwa perempuan mempunyai banyak keterbatasan sesuai
kondratnya. Konflik pun tidak dapat dihindarkan. Namun Diang Dara Sangkuai Ulu
ternyata tetap bersikeras pada pendiriannya bahwa wanita juga mempunyai hak
untuk mengangkat harkat dan martabatnya, terlebih lagi dengan tujuan mulia
menolong sesama manusia melalui wadian. Maka terjadilah aksi saling unjuk
kebolehan.
Lala
pun sangat bersemangat mempertontonkan kebolehannya menari Wadian Bawo seraya
memamerkan otot dan kesaktiannya kepada pesaing cantik Diang Dara Sangkuai Ulu.
Namun apa yang terjadi? Diang Dara Sangkuai Ulu bukannya takut, justru
sebaliknya melawan aksi atraktif Lala itu dengan membalas mempertontonkan keahliannya
menarikan Wadian Dadas. Walhasil, gemerincing gelang-gelang Bawo dan Dadas pun
silih berganti membelah suasana. Persaingan terjadi dengan sangat seru, keras
dan memukau. Singkat kata, jurus atraksi baru Wadian Dadas yang dikeluarkan
Diang Dara Sangkuai Ulu ternyata tidak kalah dahsyat dari gerakan berotot
Wadian Bawo. Artinya, gerakan otot dan olah tubuh Lala yang mempertunjukkan
keperkasaan lelaki harus berbalas tunai dengan atraksi sakti Diang Dara
Sangkuai Ulu yang lincah bagai lompatan macan, melayang-layang bagai kepakan
sayap burung mangamet dan
gemulai laksana lenggak-lenggok leher dan pinggul ular tadung kobra yang seksi.
Menurut Tjilik Riwut dalam bukunya ”KALIMANTAN MEMBANGUN, Alam dan Kebudayaan”,
penerbit PT. Tiara Wacana Yogyakarta, pendobrakan atau aksi menuntut kesetaraan gender oleh Ineh Payung Gunting dan Diang Dara Sangkuai Ulun ini terjadi pada tahun 1540, sehingga tahun 1540 patut diperingati bangsa Dayak sebagai Hari Kartini yang lain.
Adapun momen yang lain tahun 1540 bagi orang Islam di Kalimantan akan dikenang sebagai hari peresmian agama Islam sebagai agama Tanah Dayak Borneo Kalimantan. Ini juga menurut catatan Tjilik Riwut di dalam buku yang sama. Selanjutnya terserah anda.
Komentar