Panglima Batur
Banjarmasin
Kota Bungas pada tanggal 28 Oktober 2010 jam 2:46 menurunkan tulisan tentang seorang pahlawan dari pedalaman sungai Barito di Dayak Besar Kalimantan Tengah: "PANGLIMA BATUR".
Panglima Batur dilahirkan
di Buntok Baru, Barito Utara, Kalimantan Tengah pada
tahun 1852 dan meninggal di Banjarmasin, Kalimantan
Selatan pada tanggal 5 Oktober 1905 pada usia 53 tahun.
Panglima Batur adalah Panglima suku Dayak Bakumpai dalam Perang
Banjar yang berlangsung di pedalaman Barito, yang sering
disebut Perang Barito, sebagai kelanjutan dari Perang Banjar.
Panglima Batur adalah salah seorang Panglima yang setia pada Sultan Muhammad
Seman.
Panglima Batur seorang Panglima Dayak yang
beragama Islam, asalnya dari daerah Buntok Kecil, yakni sekitar 40 Km di
udik Muara Teweh. Gelar Panglima untuk daerah suku-suku
Dayak pada masa itu menunjukkan pangkat dan tugas sebagai kepala keamanan dan mempunyai pasukan sebagai anak buahnya. Seorang panglima
adalah orang yang paling pemberani, cerdik, berpengaruh dan biasanya kebal alias tahan tungkih.
Panglima Batur bersama Sultan Gusti Muhammad Seman mempertahankan benteng
terakhir di Sungai Manawing dalam perjuangan melawan penjajahan Belanda. Pada saat
Panglima Batur mendapat perintah untuk pergi ke Kesultanan
Pasir untuk memperoleh mesiu, saat itulah benteng Manawing mendapat
serangan Belanda. Pasukan Belanda dibawah pimpinan Letnan Christofel
yang berpengalaman dalam perang Aceh. Christofel dengan sejumlah besar
pasukan marsose yang terkenal ganas dan bengis, menyerbu
benteng Manawing pada bulan Januari 1905.
Dalam pertempuran yang tidak seimbang ini Sultan Muhammad
Seman tidak dapat bertahan. Sultan tertembak dan gugur sebagai kesuma
bangsa. Tertegun dengan rasa sedih yang mendalam ketika Panglima Batur
kembali ke benteng Manawing, benteng itu sudah musnah dan Sultan Muhammad Seman sang pimpinan pun
telah tewas.
Panglima Batur dan teman seperjuangannya yang lain seperti Panglima
Umbung pulang ke kampung halaman mereka masing-masing. Panglima Umbung
kembali ke Buntok Kecil. Sultan Muhammad Seman di makamkan di puncak gunung
di Puruk Cahu. Maka tinggallah kini Panglima Batur satu-satunya pimpinan perjuangan
yang masih bertahan. Ia terkenal sangat teguh dengan pendiriannya dan sangat
patuh dengan sumpah yang telah diucapkannya. Namun pada sisi lain beliau mudah terharu
dan merasa sedih jika melihat anak buahnya atau keluarganya yang jatuh menderita. Hal
semacam itu ternyata diketahui oleh kaum penjajah Belanda sehingga kelemahan Panglima Batur ini akhirnya dijadikan alat untuk menjebaknya.
Ketika
terjadi upacara adat perkawinan kemenakannya di
kampung Lemo, seluruh anggota keluarga Panglima Batur
terkumpul. Saat itulah serdadu Belanda mengadakan penangkapan. Pasangan
mempelai yang sedang bersanding juga ditangkap dimasukkan ke dalam tahanan,
dipukuli dan disiksa tanpa perikemanusiaan. Cara inilah yang dipakai Belanda
untuk menjebak Panglima Batur.
Dengan perantaraan Haji Kuwit salah seorang
saudara sepupu Panglima Batur, Belanda berusaha menangkapnya. Atas
suruhan Belanda, Haji Kuwit mengatakan bahwa apabila Panglima Batur
bersedia keluar dari persembunyian dan bersedia berunding dengan Belanda,
barulah tahanan yang terdiri dari keluarganya dikeluarkan
dan dibebaskan, dan sebaliknya apabila Panglima tetap berkeras
kepala maka para tahanan akan ditembak mati.
Hati Panglima Batur menjadi gundah dan sedih. Dia sadar bahwa
apabila dia terus nekad maka keluarganya pasti dibunuhi. Akhirnya dia berfikir, lebih baik dia yang menjadi korban sendirian
dari pada keluarganya yang tidak berdosa yang ikut menanggungnya. Dengan diiringi
oleh orang-orang tua dan orang sekampung nya maka Panglima Batur berangkat ke Muara
Teweh. Sesampainya di sana
bukan perundingan yang didapatkannya malah dia langsung ditangkap
sebagai tawanan dan selanjutnya dihadapkan di pengadilan karena kejahatan pemberontakan melawan pemerintah.
Ini terjadi pada tanggal 24 Agustus 1905. Setelah
dua minggu ditawan di Muara Teweh, Panglima Batur pun akhirnya diangkut
dengan kapal ke Banjarmasin.
Di kota Banjarmasin, dia diarak keliling kota dengan pemberitahuan bahwa inilah pemberontak yang
keras kepala dan akan dijatuhkan hukuman mati. Pada tanggal 15
September 1905 Panglima Batur dinaikkan ke tiang gantungan. Permintaan
terakhir yang diucapkannya adalah minta dibacakan Dua Kalimah
Syahadat untuknya.
Jenazah Panglima Batur dimakamkan di belakang masjid Jami
Banjarmasin, tetapi sejak tanggal 21
April 1958 jenazahnya dipindahkan ke kompleks Makam
Pahlawan Banjarmasin.
Komentar