Diang Dara Sangkuai Ulu, Kartini Bangsa Dayak (2)
Oleh Syamsuddin Rudiannoor, S. Sos (0813 4960 6504)
Dalam versi cerita yang lain, kisah perseteruan antara Diang Dara Sangkuai Ulu terjadi tatkala Kepala Suku Bawo menggelar acara
Tumet Leut atau pertunjukan kesenian mirip berbalas pantun di depan rumahnya.
Sebagai mana biasa, tatkala Datu Too keluar rumah diiringi anak dan istrinya yang biasa dipanggil Ineh, halaman rumah sudah tampak ansak atau wadah sesajen yang masih kosong,
dupa parapen, seperangkat alat musik, penginangan dan perangkat lainnya.
Pada
saat yang sama berdatangan pula para kerabat dan tetangga yang memang diundang
untuk menghadiri acara seni itu. Tidak seberapa lama datanglah ibu Pasungan
yang bertugas menyediakan isi ansak, maka wanita ini pun mengisi ansak dengan
sesajen yang terdiri dari telur ayam, kue serabi, gula merah, ayam masak, buah
kelapa dan harum-haruman. Belum lama sesajen selesai disusun rapi, kepala suku pun
meminta istrinya untuk mulai menembangkan Tumet
Leut. Agaknya dia tidak sabar untuk segera mendengarkan
lantunan lagu yang sudah lama tidak disenandungkan.
Pada saat Ineh sedang asyik mengalunkan Tumet Leut,
tiba-tiba Lala datang dengan kasar dan marah sehingga tumet leut pun terhenti.
Karena suasana tiba-tiba berubah, segera Kepala Suku bertanya kepada putra
kebanggaannya. Apa jawab Lala? Rupanya dia sedang sangat marah besar karena
wanita yang bernama Diang Dara Sangkuai Ulu telah mengaku sebagai Wadian dan itu
merupakan kelancangan yang sangat ganjil dari seorang wanita. Tidakkah wadian
hanya khusus untuk pria saja?
Karena suasana kurang mendukung maka Datu Too menghentikan Tumet Leut dan mengajak hadirin makan bersama. Di persantapan itulah Lala menumpahkan keluh-kesahnya. Sementara di tempat lain
dan dalam suasana lain, Diang Dara Sangkuai Ulu sudah mencapai tahap akhir
latihannya. Kembali dia mencermati gerak-gerik erotis ular yang meliuk-liukkan
tubuhnya. Dia meniru gerak-gerik itu sekuat tenaganya. Tidak
ada musik yang mengiringi. Hanya desau air mengalir dan gesekan dedaunan
tertiup angin yang menjadi musiknya. Namun karena penghayatan yang sangat kuat,
tanpa musik pun tarian itu sangatlah indah jadinya. Luar biasa. Sampai
akhirnya, tiba-tiba datang seekor burung elang yang terbang tinggi-rendah
dengan kepak sayapnya yang sesekali membentang diam.
Ternyata, elang itu penjelmaan dewi cantik yang
bernama Ineh Payung Gunting. Dia pun turun dan berubah ke wujud aslinya.
Katanya: ”Aku Ineh Payung Gunting dari Gunung Paramatun. Aku peduli dengan
hasratmu yang kuat untuk menjadi wadian. Karena kesungguhanmu itu maka hari ini
kuturunkan ilmuku untukmu dan kamu akan menjadi wanita pertama sebagai Wadian
Dadas. Maka, jadilah orang yang setia dalam mengabdi kepada sesama.”
Maka Ineh Payung Gunting pun
menyerahkan gelang-gelang dadas dan memakaikannya ke tangan Diang Dara Sangkuai
Ulu. Kemudian Ineh Payung Gunting mengajari gerak-gerik wadian dadas
seraya mengalunginya selendang. Setiap
gerak yang diajari diikuti dengan seksama oleh Diang Dara Sangkuai Ulu.
Akhirnya, jadilah dia Wadian Dadas yang sempurna.
Sampai pada hari yang lain, tampaklah Diang Dara
Sangkuai Ulu sedang melatih beberapa teman wanitanya. Tanpa diduga, datanglah
Lala yang lama dendam kepadanya. Dengan marah-marah Lala menghentikan latihan
itu. Kata Lala: ”Sudahlah Diang Dara Sangkuai Ulu. Tidak perlu kamu mengajari
mereka hal-hal begitu. Wadian adalah pekerjaan laki-laki. Perempuan tidak bisa
menjadi wadian. Wanita hanya boleh belajar memasak, melahirkan, mengasuh anak
dan menjadi istri!”
”Semua
itu kami pelajari karena memang itulah dunia kami. Tapi kami juga mau
mengabdikan diri kepada kepentingan sesama, sehingga menjadi wadian tidaklah
cukup untuk lelaki saja!”
”Kamu
salah, Sangkuai Ulu!”, teriak Lala. ”Kamu melawan kodrat kewanitaanmu!!”
”Kami
tidak merasa melawan kodrat!”, jawab Diang Dara Sangkuai Ulu tenang. ”Kami
tetap akan menjadi wadian Dadas, wadian yang serupa tapi tidak sama dengan
Wadian Bawo kebanggaanmu itu. Maaf saja, kami tetap berusaha menjadi wadian
karena kami ingin berbuat kebajikan!”
”Tidak!!”,
teriak Lala marah, ”hentikan dan turuti keputusanku. Apa kamu sanggup seperti
ini..?”, tantang Lala seraya mendemontrasikan Wadian Bawo.
Diang Dara Sangkuai Ulu tertegun
mendengar tantangan Lala. Sesungguhnya dia berniat menahan diri dan tidak
melayani provokasi itu. Namun karena
teman-temannya merasa perlu membalas maka mereka pun menjawab tantangan itu
dengan mendemonstrasikan Wadian Dadas bersama-sama. Rupanya, aksi balas Wadian
Dadas Diang Dara Sangkuai Ulu dan kawan-kawan membuat Lala sangat terkejut,
tertegun dan salah tingkah. Meski pun begitu dia terus membawakan Wadian
Bawo-nya menghadapi Wadian Dadas yang terus pula beraksi. Hasilnya, kedua fihak
terus bersaing dalam keunggulan tari masing-masing.
Kepala suku Bawo yang dari kejauhan membiarkan aksi
permusuhan kedua fihak berlangsung akhirnya mendekat dengan membawa beberapa
perangkat upacara. Beliau masuk ke arena persaingan dan memotong aksi tari
permusuhan itu dengan maksud mendamaikan mereka. Katanya:
”Berhentilah kalian memamerkan tari permusuhan. Jangan lagi menari karena
kemarahan. Jika kalian ingin dikenal sepanjang zaman maka permusuhan ini harus
dihentikan dan kita tampilkan keduanya dalam
satu tarian yang penuh perdamaian. Mari kita tampilkan Wadian Dadas dan Bawo
sebagai tarian bersama.”
Akhirnya, Diang Dara Sangkuai Ulu dan Lala berhasil
didamaikan oleh Kepala Suku Bawo. Mereka akhirnya mau saling memaafkan. Mereka
berjanji untuk tidak saling merendahkan. Mereka pun bersumpah tidak lagi saling
menghina. Mereka juga dimintakan kesungguhan nan sejati atas perjanjian itu.
Maka atas keberhasilan itulah, kedua fihak di tampung tawari dalam sebuah
upacara perdamaian adat kecil. Hasilnya, sejak saat itu Wadian Dadas dan Bawo
tidak lagi beradu dalam tari permusuhan yang saling menjatuhkan namun senantiasa
tampil bersama dalam sebuah pertunjukan yang hadir membawa gairah cinta dan
saling menguatkan. Sejak saat itu maka lahir Iruang Wunrung sebagai tari kolaborasi antara Wadian Dadas dan Wadian Bawo. Maka dengan peranannya itu Kepala Suku Bawo, Datu Too, telah bertindak sebagai Pahlawan Persatuan dan inspirator lahirnya Iruang Wunrung.
Pada fihak lain, Diang Dara Sangkuai Ulu telah lahir sebagai pahlawan yang gagah berani memperjuangkan emansipasi wanita dalam hal kesetaraan peran dalam kehidupan bermasyarakat.
Komentar