Ineh Payung Gunting


oleh Syamsuddin Rudiannoor, S.Sos

Pada awalnya, dalam adat suku Dayak Ma’anyan umumnya dan Suku Bawo khususnya, Wadian digunakan sebagai media pengobatan atau penyembuhan dari segala penyakit. Para pelaku wadian dianggap mempunyai kekuatan spiritual yang luar biasa. Kekuatan tersebut identik dengan kekuatan fisik laki-laki sehingga terbentuklah pandangan bahwa dunia wadian adalah milik laki-laki. Wadian laki-laki inilah yang dikenal dengan Wadian Bawo. 

Kondisi tersebut terus berlangsung selama perjalanan kehidupan suku Bawo sampai pada suatu ketika terjadi pendobrakan dominasi laki-laki dengan munculnya seorang perempuan bernama Diang Dara Sangkuai Ulu. Perempuan ini dianugerahi kekuatan dan keterampilan wadian oleh seorang Dewi cantik dari Gunung Paramatun yang bernama Ineh Payung Gunting. 

Pada awal penampakannya Ineh Payung Gunting berwujud seekor burung elang. Ineh Payung Gunting sangat tertarik dengan Diang Dara Sangkuai Ulu yang rajin mencermati setiap gerak-gerik ular. Akhirnya, Ineh Payung Gunting mengajarkan keahlian wadian serta menunjukinya kelengkapan-kelengkapan wadian seperti gelang dan selendang. Wadian wawei alias Wadian perempuan inilah yang kemudian terkenal luas dengan sebutan Wadian Dadas. 

Keahlian Wadian Dadas ini kemudian diajarkan pula oleh Diang Dara Sangkuai Ulu kepada teman-teman perempuannya. Upaya-upaya memberdayakan diri dari keterkungkungan pandangan tradisional atas dominasi laki-laki ini nampaknya sangat menggangu pemikiran para laki-laki diantaranya Lala, anak kepala Suku Bawo yang selama ini dianggap paling handal melakukan wadian Bawo. 

Secara konfrontatif Lala menghendaki Diang Dara Sangkuai Ulu menghentikan niatnya dan menyadarkannya bahwa perempuan mempunyai banyak keterbatasan sesuai kondratnya. Konflik pun tidak dapat dihindarkan. 

Namun Diang Dara Sangkuai Ulu ternyata tetap bersikeras pada pendiriannya bahwa wanita juga mempunyai hak untuk mengangkat harkat dan martabatnya, terlebih lagi dengan tujuan mulia menolong sesama manusia melalui wadian. Maka terjadilah aksi saling unjuk kebolehan. 

Lala pun sangat bersemangat mempertontonkan kebolehannya menari Wadian Bawo seraya memamerkan otot dan kesaktiannya kepada pesaing cantik Diang Dara Sangkuai Ulu. Namun apa yang terjadi? Diang Dara Sangkuai Ulu bukannya takut, justru sebaliknya melawan aksi atraktif Lala itu dengan membalas mempertontonkan keahliannya menarikan Wadian Dadas. 

Walhasil, gemerincing gelang-gelang Bawo dan Dadas pun silih berganti membelah suasana. Persaingan terjadi dengan sangat seru, keras dan memukau. Singkat kata, jurus atraksi baru Wadian Dadas yang dikeluarkan Diang Dara Sangkuai Ulu ternyata tidak kalah dahsyat dari gerakan berotot Wadian Bawo. Artinya, gerakan otot dan olah tubuh Lala yang mempertunjukkan keperkasaan lelaki harus berbalas tunai dengan atraksi sakti Diang Dara Sangkuai Ulu yang lincah bagai lompatan macan, melayang-layang bagai kepakan sayap burung mangamet dan gemulai laksana lenggak-lenggok leher dan pinggul ular tadung kobra yang seksi. 

Menyikapi perang terbuka yang mengarah persaingan tidak sehat maka berkat kearifan kepala suku Bawo, konflik pun dapat diselesaikan secara damai dan bijaksana. Kepala suku Bawo menegaskan bahwa baik laki-laki maupun perempuan adalah berkedudukan setara didalam kehidupan. Oleh sebab itu maka beliau menyarankan kepada Lala dan Diang Dara Sangkuai Ulu untuk secara bersama-sama memajukan keahlian wadian dalam bentuk wadian baru yakni wadian bersama. Penampilan kolaboratif kedua wadian inilah yang kemudian dikenal luas dengan istilah Iruang Wunrung (Dayak Ma’anyan) atau Ruang Wunrung (Dayak Dusun).






Konten ini telah tayang di Kompasiana.com dengan judul "Ineh Payung Gunting", Klik untuk baca:

https://www.kompasiana.com/syamsuddinrudiannoor/5508ece58133116d1cb1e1a7/ineh-payung-gunting


Kreator: Syamsuddin Rudiannoor



Komentar

Postingan Populer