MAKAM CHISTIAN SIMBAR DIMUTASI KE MADARA

PROLOG
Saya Syamsuddin Rudiannoor adalah anak tertua dari ibu Lamsyah binti Amir Hasan (Junung) bin Inggar bin Bahan. Ibu saya itu mantan Kepala SKKP Negeri Buntok dan Perintis SMP Negeri 2 Dusun Selatan. Sementara ayah saya Abdul Gani bin Mamat bin Katu adalah mantan Kepala SMP Negeri 1 Buntok (1957 - 1979).   

Adalah fakta yang tidak bisa dipungkiri bahwa kakek kami Amir Hasan (Junung) bin Inggar bin Bahan adalah keluarga dekat Christian "Mandolin" Simbar. Dulu kakek kami merupakan bagian dari pergerakan pembentukan Provinsi Kalimantan Tengah. Peran beliau ini dapat dibaca dalam buku Tjilik Riwut "Kalimantan Membangun, Alam dan Kebudayaan", penerbit Tiara Wacana, Yogyakarta. 

Amir Hasan Kalahien bin Inggar bin Bahan juga pencetus pembentukan provinsi Barito Raya. Peran beliau telah dipublikasikan Banjarmasin Post beberapa tahun lalu atas penuturan Bapak Haji Ruslan dari Marawan (ayah Rayuhani, anggota DPRD Barito Selatan). Beliau juga mantan anggota DPRD Provinsi utusan Dayak Besar di Banjarmasin.  

Lalu kenapa saya menghubungkan kedua kakek kami itu dalam tulisan ini? Pertama, karena ketika saya beberapa kali pulang pergi Buntok - Palangka Raya - Kuala Kapuas naik sepeda motor, secara otomatis hati ini terkenang masa lalu ketika melihat makam Simbar di wilayah Madara. Masa lalu pertama adalah kami dilarang berbicara tentang kekerabatan kepada orang luar karena kami dianggap keluarga gerombolan.  Kedua, jasa mereka dari perjuangan dimasa lalu tampaknya menemui jalan yang berbeda. Kakek saya sangat lama merantau di Jawa, pulang dan meninggal di Rumah Sakit Umum Buntok. Beliau dimakamkan di Kuburan Pasar Beringin Buntok. Selesai. Sementara Chistian Simbar juga sangat lama menghilang, lalu ditemukan makamnya di Nusa Tenggara Timur, kemudian dipindahkan ke Kalahien. Karena saya kemudian bermukim di Kuala Kapuas (2010 - 2012), barulah saya tahun kalau kuburan Simbar sudah dimutasi lagi ke wilayah Madara. Artinya, nasib manusia memang tidak bisa dipastikan takdirnya. Buktinya orang mati pun masih saja dimutasi kemana-mana sesuai keinginan yang berkuasa.  
   
REVIEW
Gerakan Mandau Talawang Pancasila (GMTPS) dimasa lalu adalah pergerakan bersenjata yang bertujuan menuntut berdirinya Provinsi Kalimantan Tengah. Perjuangan ini berkeinginan agar rakyat Dayak Besar memiliki provinsi tersendiri terpisah dari Kalimantan Selatan. Pada awal kemerdekaan Pulau Kalimantan hanya memiliki tiga provinsi, yaitu Kalimantan Selatan, Kalimantan Timur dan Kalimantan Barat. Sedangkan adanya pergerakan di Kalimantan Tengah tidak diakui Pemerintah Pusat dengan alasan  kekurangan uang negara untuk membiayai pembentukan empat provinsi sekaligus. Akan tetapi dalam tiga tahun setelah berlakunya undang-undang tersebut, Kalimantan Tengah akan dibentuk (Undang-Undang Darurat No.25 Tahun 1956). Sebagai persiapannya, Kalimantan Tengah memperoleh status Karisidenan dan Tjilik Riwut ditunjuk sebagai residen yang berkedudukan di Banjarmasin.

Keluarnya undang-undang tersebut ternyata disambut kekecewaan dari berbagai kalangan. Maka berdirilah gerakan bersenjata di Kalimantan Tengah, salah satunya GMTPS pimpinan Christian Simbar atau Uria Mapas. Gerakan ini bersifat militan, pernah melakukan serangan terhadap beberapa pos pemerintah diantaranya di Buntok dan Tamiang Layang.
Pada 19 Oktober 1953, markas GMTPS di desa Bundar diserang aparat Kepolisian Buntok. Serangan ini menimbulkkan korban warga sipil. Akibat serangan itu, Christian Simbar bersama 86 angota GMTPS  melakukan serangan balik terhadap markas Kepolisian Buntok pada 22 November 1953. Pertempuran itu memakan banyak korban dari pihak aparat keamanan, pegawai negeri maupun dari GMTPS sendiri. 
.
Pada tahun 1955 ketika Indonesia memasuki masa Pemilu, GMTPS menghentikan sementara gerakan fisik karena tidak ingin dikatakan sebagai pembuat kekacauan. Namun pasca Pemilu kontak senjata kembali terjadi di Pujon, Desa Madara, Desa Butong, Desa Hayaping dan Desa Lahei. Pada bentrokan yang terjadi di Hayaping tanggal 15 Desember 1955 istri Christian Simbar yaitu Rusine Tate menjadikan dirinya umpan untuk ditangkap Batalyon 605 sehingga pasukan GMTPS berhasil lolos dari kepungan aparat.
Kegiatan GMTPS semakin meningkat pada tahun 1956 karena belum ada tanda-tanda keseriusan pemerintah dalam pembentukan provinsi Kalteng. Semakin seringnya terjadi kontak senjata dengan aparat keamanan maka akhirnya berdasarkan Keputusan Mendagri SK Nomor U /34/41/24 tanggal 28 Desember 1956 dibentuklah Kantor Persiapan Provinsi Kalteng terhitung 1 Januari 1957. Pemerintah pusat juga meminta agar kontak senjata dihentikan. Maka dibentuk Panitia Penyelesaian Korban Kekacauan Daerah (PPKD) Kalteng yang diketuai oleh Mahir Mahar. Tugasnya melakukan perundingan dengan pihak GMTPS. Tanggal 1 Maret 1957 terjadi perundingan di Desa Madara, Buntok yang menghasilkan beberapa keputusan antara lain :
1. Pembentukan Provinsi Kalimantan tengah dengan wilayah meliputi Kab. Barito, Kapuas dan  Kotawaringin dapat disetujui.
2. Tidak ada tuntutan/proses hukum atas semua korban baik dari pihak GMTPS maupun pihak aparat keamanan
3. Penyaluran anggota GMTPS yang berminat untuk menjadi tentara , polisi ataupun pegawai negeri
4. Bantuan modal bagi angota GMTPS yang ingin berusaha sesuai keahlian masing-masing
5. Penyerahan senjata GMTPS kepada pemerintah melalui upacara adat.

Dalam perkembangannya maka terbentuklah Provinsi Kalimantan Tengah pada tanggal 23 Mei 1957 dengan Tjilik Riwut sebagai Gubernurnya. Lalu bagai mana dengan kabar Barito Raya setelah 55 tahun Kalimantan Tengah dilahirkan dengan perjuang berdarah? Masih adakah gairah untuk Barito Raya? Tidak tahu kita kabarnya, ada atau tiada, walau pun Kalimantan Timur sudah membagi diri menjadi Kalimantan Timur dan Kalimantan Utara. Bahkan Papua sudah pula membelah diri menjadi Papua, Papua Barat, Papua Timur, Papua Selatan dan sebagainya. Yang pasti Barito Raya memang sunyi sesunyi kuburan Simbar di tanah Madara yang hampa.

Komentar

Postingan Populer